APLIKASI KULTUR JARINGAN PADA HEWAN
PENDAHULUAN
Teknologi genetika merupakan cabang ilmu yang berkembang cepat dengan mengubah sistem produksi tanaman, ternak dan ikan menjadi industri biologi yang lebih baik dan lebih adaptif terhadap lingkungan tumbuh. Penerapan teknologi genetika dengan perubahan bentuk menjadi ideal pada tanaman, ternak dan ikan telah meningkatkan produksi pertanian pada abad ini (Budianto, 2000). Pada akhir abad ke-20 perkembangan teknologi genetika atau secara umum disebut bioteknologi mulai berkembang. Menurut Moeljopawiro (2000) bioteknologi dalam arti luas didefinisikan sebagai penggunaan proses biologi dari mikroba, tanaman atau hewan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Sedangkan rekayasa genetika didefinisikan dalam arti luas sebagai teknik yang digunakan untuk merubah atau memindahkan material genetik (gen) dari sel hidup. Definisi yang lebih sempit, seperti yang digunakan oleh Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS) Departemen Pertanian Amerika, rekayasa genetika modifikasi genetic dari suatu organisme dengan menggunakan teknologi rekombinan DNA.
Bioteknologi merupakan bidang ilmu yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan cara konvensional. Penggunaan bioteknologi bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Bioteknologi harus diintegrasikan ke dalam pendekatan- pendekatan konvensional yang sudah mapan. Bioteknologi berkembang dengan cepat di berbagai sektor dan meningkatkan keefektifan cara-cara menghasilkan produk dan jasa. Alih teknologi dan pengembangan bioteknologi secara layak dan tidak merusak lingkungan, memerlukan berbagai persyaratan selain peraturan perundang-undangan juga modal yang besar.
Salah satu isu strategis yang penting dalam penelitian genetik saat ini ialah penelitian harus dapat secara terus menerus memperbaiki potensi genetik dan menghasilkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan. Perbaikan bahan genetik melibatkan gabungan pemakaian cara pendekatan konvensional dan modern, dengan penekanan pada aplikasi bioteknologi dalam pelestarian plasma nutfah dan program pemuliaan. Kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mikrobiologi terapan, kultur jaringan, dan biologi molekuler. Pada makalah ini hanya membahas kultur jaringan pada hewan dan aplikasinya.
2.1. Kultur Jaringan Hewan
Kultur jaringan dilakukan pertama kali pada awal abad ke-20 oleh Gottleib Haberlandt (pada tanaman) dan Alexis Carrel (pada hewan). Kultur jaringan komersial pertama dilakukan tahun 1920-an pada pembiakan klon tanaman dengan media buatan untuk tunas dan pertumbuhan tanaman anggrek. Sekitar tahun 1950-an dan 60-an terjadi kemajuan besar pada penelitian, setelah adanya perkembangan medium buatan yang baik (Murashige dan Skoog, 1962) kultur jaringan tanaman mulai benar-benar dikomersialkan. Kultur jaringan merupakan istilah yang digunakan untuk proses pertumbuhan sel secara artifisial di laboratorium (OSMS.otago.ae.nz/main/bursary). Kultur jaringan bertujuan untuk memanfaat-kan teknik kultur sel dan jaringan untuk perbaikan bahan genetik. Kegiatan penelitian tersebut terutama untuk mengembangkan teknik induksi dan regenerasi dari embrio dan protoplas, serta identifikasi genetis yang memiliki efisiensi tinggi dalam proses regenerasi yang merupakan bagian dari transformasi. Kultur jaringan dapat dilakukan pada tanaman maupun hewan. Kultur jaringan menghasilkan klon-klon yang memiliki genotif yang sama (kecuali terjadi mutasi selama proses pembiakan). Manfaat kultur jaringan pada tanaman dan hewan berkembang dengan modifikasi genetik menggunakan jasa virus dan bakteri sebagai vektor dan gene guns untuk menghasilkan organisme yang memiliki susunan genetik tertentu. Kultur jaringan membutuhkan antara lain
Jaringan yang sesuai (jaringan yang lebih baik)
Medium pertumbuhan yang sesuai yang terdiri dari sumber energi dan mineral anorganik untuk mensuplai pertumbuhan sel. Medium ini bisa berupa cair atau semipadat
Kondisi aseptik (steril) sehingga mikroorganisme tumbuh lebih cepat daripada jaringan tanaman dan hewan sehingga bisa mengambil alih fungsi jaringan
Pengatur pertumbuhan
Tanaman auxins & cytokinins
Hewan tersedia pada serum dari tipe sel yang dibiakkan
Jumlah subkultur untuk menjamin kecukupan nutrisi dan menghindari adanya sisa metabolisme
Jaringan hewan diperoleh dari spesimen partikular atau dari ‘tissue bank’ dari “cryo-preserved” (cryo = jaringan yang dibekukan pada suhu yang rendah dengan medium spesifik)
Jaringan ditempatkan pada medium yang sesuai pada kondisi aseptik
1. Shell-Less Chick Embryo Culture sebagai Model Alternatif In Vitro untuk Mengetahui Glukosa Penyebab Cacat pada Embrio Mamalia (Savita dan Bhonde, 2005)
Penelitian ini mengembangkan sistem pembiakan shell-less chick embryo secara sederhana untuk mengetahui glukosa penyebab cacat. Sistem ini meliputi pembiakan embrio ayam dari hari ke-2 sampai ke-5 masa inkubasi, yang dihubungkan dengan kuning telur dan ketebalan albumen yang menyelimuti telur. Embrio ayam dibiakkan pada cawan petri. Perkembangan embrio pada 24, 48 dan 72 jam pengeraman dengan perlakuan 2 konsentrasi glukosa 50 mM dan 100 mM untuk 24 jam.
Preparasi shell-less chick embryo culture dilakukan pada seluruh kultur embrio pada kondisi yang steril. Albumen tipis dari telur unfertil dimasukkan ke dalam cawan petri. Albumen ini berperan sebagai penahan benturan, menyediakan bantalan untuk kultur dan terbatas dilakukan pada desikasi. Telur yang fertil dipecah dari cangkangnya dengan bantuan scalpel kira-kira 3-3,5 cm dari ujung yang sempit dan isi telur kemudian diletakkan pada bantalan albumen yang ada pada cawan petri. Didapatkan bahwa peluang hidup embrio tinggi apabila isi telur ditransfer tanpa kerusakan embrio atau kuning telur dan embrio terjaga pada posisi yang tepat.
Setiap cawan petri ditutup dengan penutup, kemudian kultur diinkubasi pada suhu 37.5°C dan kelembaban 80%. Embrio ayam umur 24 jam (kira-kira HH tingkat 7-9), 48 jam (HH tingkat 12-14) dan 72 jam inkubasi (HH tingkat 19-21) digunakan untuk percobaan mengikuti pembagian tingkat menurut Hamberger Hamilton.
Perlakuan glukosa menghasilkan tingkat mortalitas lebih dari 70% pada embrio muda. Berbagai cacat seperti pertumbuhan yang terlambat, perkembangan jantung yang abnormal, makrosomia, exencephaly dan lain-lain yang diteliti pada embrio tua sama seperti yang dilaporkan pada embrio mamalia yang merupakan akibat kehamilan diabetik. Glukosa penyebab cacat yang ditemukan tergantung pada konsentrasi dan tingkatnya, ditekankan pada peran derajat hiperglisemia dan tingkat perkembangan embrio pada anomaly pertumbuhan diabetik. Penelitian ini menjelaskan bahwa sistem tersebut dapat digunakan untuk percobaan pada perkembangan embrio ayam pada tahap awal dan memperkirakan pengaruh toksisitas glukosa akut seperti yang dilaporkan pada embrio mamalia pada kondisi hiperglisemik.
2. Shell-less culture of the chick embryo sebagai sistem modeluntuk mempelajari perkembangan neurobilogi
Penelitian mengenai Shell-less culture of the chick embryo sebagai sistem model untuk mempelajari perkembangan neurobilogi telah dilakukan oleh Tufan et al., (2004). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan the shell-less culture system pada embrio ayam sebagai model penelitian lapangan yang potensial untuk mengamati perkembangan neurobiology. Dalam penelitian ini dijelaskan teknik shell-less culture model system pada embrio ayam dan menunjukkan perkembangan sistem saraf pusat mulai dari awal, tahap three-vesicle brain stage up sampai tahap five-vesicle brain stage ketika embrio mempunyai daya tahan 100%.
Materi yang digunakan adalah telur ayam yang telah dibuahi. Prosedur pelaksanaannya meliputi beberapa tahapan, yang meliputi:
Tahap Preparasi komposisi biakan (Preparation of culture containers). Komposisi biakan terdiri dari polyethylene film yang bersifat transparan dan semipermeabel dan dilengkapi dengan pengaman yang berupa karet pengikat pada bagian mulut cup plastik silinder (diameter = 7 cm; tinggi = 7 cm) ditutup dengan cawan petri yang tertutup plastik . Komposisi biakan selanjutnya dipasteurisasi dengan sinar UV selama 1 jam.
Penyiapan shell-less cultures. Shell-less cultures disiapkan sesuai dengan petunjuk Hamamichi dan Nishigori (2001) dengan sedikit modifikasi . Sesuai petunjuk, dilakukan tahap preinkubasi telur ayam yang telah dibuahi selama 30-33 jam pada 37,5oC pada inkubator telur sampai mencapai 9 tahap sesuai yang dijelaskan oleh Hamburger dan Hamilton (1951), (Ilustrasi 1A dan 1B). Persiapan untuk penempelan telur ditempatkan secara horisantal, disemprot dengan ethanol 70% dan diletakkan pada udara kering selama 10 menit untuk mengurangi kontaminasi pada permukaan telur dan juga untuk memastikan bahwa embrio berada pada posisi yang sesuai (Aurbach et al., 1974). Dilanjutkan dengan menempatkan telur pada ruangan yang sejuk untuk menghindari terjadinya pemecahan kuning telur pada proses eksplantasi (Giles dan Bandigan, 1999).
Isi telur dipindahkan dalam keadaan aseptik (di dalam lapisan berlapis) ke dalam isi biakan melalui pemecahan sisi bawah tepi (1D dan 1E). Hanya kultur dengan posisi blastodisc pada bagian sisi atas kuning telur yang digunakan. Setiap shell-less culture ditutup dengan cawan yang ditutup plastik steril, kemudian dipindahkan dalam inkubator pada 37,5oC dengan kelembaban yang jenuh kemudian ditetaskan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan . Pada penelitian ini inkubasi dilakukan selama 96 jam, termasuk 30-33 jam waktu preinkubasi untuk pengamatan sampai tahap five-vesicle brain stage.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa shell-less culture pada embrio ayam adalah efesien. Melalui metode ini dapat diketahui perkembangan saraf embrio hewan vertebrata.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, J. 2000. Kemajuan, Tantangan, dan Peluang Teknologi Genetika dan Bioteknologi di Indonesia. Dalam S. Moeljopawiro et al. (Eds.). Prosiding Ekspose: Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Jakarta 31 Agustus-1 September 1999. Badan Litbang Pertanian. Deptan. hlm. 1-16.
Tufan, A. C.; I. Akdogan dan E. Adiguzel. 2004. Shell-less culture of the chick embryo as a model system in the study of developmental neurobiology. Neuroanatomy. Volume 3. Pages 8–11.http://www.neuroanatomy.org.
Moeljopawiro, S. 2000a. Pengaturan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika. Seminar Sehari Pangan Rekayasa Genetika dan Penerangan PP No. 69 Tentang Label dan Iklan Pangan, Jakarta 12 Juli 2000.
Savita, D. dan R. R. Bhonde. 2005. Shell-Less Chick Embryo Culture as an Alternative in vitro Model to Investigate Glucose-Induced Malformations in Mammalian Embryos. J. of the Society for Biomedical Diabetes Research.
www.osms.otago.ac.nz/main/bursary. (Diakses tanggal 16 Februari 2008).
No comments:
Post a Comment